Senin, 30 November 2009

PRINSIP-PRINSIP DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL

1. Sumber aqidah (aqidah di sini adalah umum meliputi semua hal dalam agama) adalah Qur'an, Sunnah Rasululloh yang shohih, dan Ijma' Salafush Sholih. Adapun qiyas hanya dipakai saat darurat dan tidak dipakai untuk masalah aqidah (dalam arti sempit).

2. Setiap Sunnah yang shohih dari Rasululloh wajib diterima meski sifatnya ahad.

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Qur'an dan Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, pemahaman salafush sholih dan imam-imam yang mengikuti mereka, serta dilihat arti yang benar dalam bahasa Arab. Jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang bersifat kemungkinan dalam bahasa.

4. Semua prinsip-prinsip agama telah dijelaskan oleh Rasululloh. Siapapun tidak berhak mengadakan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya (dalam agama). Apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama.

5. Berserah diri, tunduk, dan patuh hanya kepada Alloh dan rasul-Nya secara dhohir dan batin. Dan tidak menolak sesuatu dari Qur'an dan Sunnah baik dengan qiyas, perasaan, iluminasi, ucapan seorang syaikh atau pun pendapat imam, dan yang lainnya.

6. Dalil akal yang benar akan sesuai dalil naqli. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya.

7. Wajib memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.

8. Kemaksuman hanya ada pada Rasul. Para sahabat dijauhkan dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun, secara individu tak ada seorang pun dari mereka yang maksum. Jika ada perbedaan di antara para imam, atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Qur'an dan Sunnah dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang yang berijtihad.

9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira) –dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.

10. Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah Ta'ala.

11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.

12. Setiap perkara yang baru dalam masalah agama adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah kesesatan. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Sumber : Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah

1 komentar: