KAIDAH KEENAM
عند مبادلة ربوي بغير ربوي ، أو مبادلة عوضين غير ربويين ، فإنه لا يشترط الحلول والتقابض ولا التساوي والتماثل
Tukar menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi, atau saling menukar antara barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
Dalam kaidah in ada 2 bentuk transaksi.
- Tukar menukar antara barang ribawi dengan barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat untuk keduanya. Contoh :
- Emas dengan pakaian.
- Emas dengan buah jeruk,
- Riyal dengan pakaian.
Tidak ada syarat dalam pertukaran ini. Kita boleh menjual sekehendak kita. Tidak harus sama, tidak pula harus tunai.
2. Tukar menukar barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan apa-apa dan tidak ada ilat pada kedua barang tsb.
Contoh :
- Pakaian dengan kitab –keduanya bukan barang ribawi-,
- mobil dengan buku,
- pakaian dengan rumah.
Ini semua bukan barang ribawi. Tatkala kita hendak menukar barang –ribawi dengan barang bukan ribawi atau dua-duanya bukan barang ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
KAIDAH KETUJUH
لا أثر لاختلاف النوع أو الجودة والرداءة عند اتحاد الجنس الربوي ، ففي هذه الحال يشترط التساوي والتماثل ، وكذلك الحلول والتقابض
Perbedaan jenis atau kualitas bukan faktor yang diperhitungkan pada barang ribawi sejenis .Yang dipersyaratkan adalah persamaan ukuran dan harus tunai.
Tatkala hendak tukar menukar barang ribawi yang sejenis maka harus sama jumlah ukurannya dan tunai, meskipun terdapat perbedaan kualitas.
Contoh : Pertukaran antara kurma dengan kurma. Keduanya memiliki jenis yang sama. Maka wajib dilakukan secara tunai dan sama ukurannya. Jika satu sho’ maka ditukar dengan satu sho’. Meskipun salah satu kurma dengan kualitas bagus dan yang lainnya jelek, tetap tidak boleh kita mengatakan kita tukar 1 sho’ kurma macam yang ini dengan 2 sho macam yang itu. Perbedaan macam kurma tidaklah berpengaruh karena perbedaan macam pada jenis yang sama tidaklah berpengaruh.
Demikian pula kualitas. Ini kualitas bagus dan ini kualitas buruk. Ini kurma merek A berkualitas bagus dan ini kurma merek B berkualitas buruk. Meskipun ada perbedaan, yang satu kurma baru dan yang lainnya kurma lama, tetap harus sama ukurannya.
Keterangan ini berdasar pada hadits Abu Said tatkala mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di Khaibar. Iapun datang dengan membawa kurma janiiib ( kualitas baik ) yang masih baru. Nabipun bertanya,” apakah semua kurma Khaibar seperti ini ?” para sahabat menjawab,” Tidak wahai Rosulullah. Kami mengambil satu sho kurma janiib dengan dua sho’ kurma al jam’u ( kualitas buruk ).” Nabi bersabda,” jauhkan dia. Ini adalah salah satu jenis riba.”
Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan macam atau kualitas barang tidak berpengaruh selama masih dalam jenis yang sama.
Contoh :
- Gandum. Gandum memiliki macam yang beragam. ( al khintoh, al laqiimi, dan al Miayyah ). Maka tatkala al khintoh ditukar dengan al khintoh harus secara tunai dan sama jumlahnya.
- Daging. Apabila berbeda macamnya (sapi misalnya ) daging sapi irab dengan sapi jamuus, Apabila hendak ditukar antara ini dan itu selama keduanya masih sama-sama daging sapi maka harus secara tunai dan sama banyaknya.
- Susu.
- Daging kambing. Apabila ditukar daging domba dengan daging kambing namun dengan penambahan maka ini termasuk riba. Perbedaan macam kambing ini tidak dilihat dan hanyalah harus terpenuhi syarat tunai dan sama ukurannya.
KAIDAH KEDELAPAN
ما اشترط فيه التماثل والتساوي ، فلا بُدَّ أن يكون التساوي والتماثل بمعياره الشرعي: كيلاً في المكيلات ، ووزناً في الموزونات
Setiap kondisi yang disyaratkan harus sama jumlah ukurannya maka harus benar-benar sama menurut ukuran standard yang diakui oleh syariat. Dengan takaran yang standard jika barang takaran dan dengan timbangan standard jika barang timbangan.
Kapan disyaratkan harus sama ukurannya ? Yakni apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi yang sama jenisnya.Apabila disyaratkan harus sama maka harus disamakan menurut ukuran standard syar’i. Tidak boleh dengan ukuran sembarangan. Karena barang-barang ribawi ini memiliki ukuran standard secara syar’i. Nabi bersabda,” Emas dengan Emas, seukuran dengan ukuran yang sama. Perak dengan perak, seukuran dengan ukuran yang sama.” Oleh karenanya apabila seseorang menukar 1 sho’ emas dengan 1 sho’ emas, hal ini termasuk riba meskipun kelihatannya sama. Mengapa demikian ? karena tidak menggunakan ukuran standard yang diakui oleh syariat.
Seandainya kita ambil emas pertama yang diukur dengan sho’ (satuan volume) dan kita timbang dengan timbangan standardnya. Kemudian kita ambil emas kedua dan kita timbang dengan timbangan standardnya, tentu kita akan mendapatkan perbedaan.
Demikian halnya dengan barang lain. Apabila kita menimbang barang yang lazimnya ditakar (berdasar satuan volume) atau menakar barang yang lazimnya ditimbang (berdasar satuan berat) maka hal ini termasuk dalam praktek riba. Contohnya perak. Ukuran standard menurut syariat adalah dengan timbangan. Akan dijelaskan tentang kaidah ukuran standard. Insyaallah.
Tatkala 10 kg gandum ditukar dengan 10 kg gandum maka ini termasuk riba. Karena kita menggunakan ukuran timbangan (satuan berat). Padahal gandum ukuran standardnya adalah takaran (berdasar satuan volume). Adapun kg atau gram adalah ukuran timbangan (berat). Pertukaran ini harus diukur dengan standard syar’i. Gandum adalah barang yang lazim ditakar. Maka kita mengukurnya dengan alat ukur seperti sho’, wasq, mud dsb. Adapun barang-barang timbangan diukur dengan alat timbangan seperti kg, gram, pound dll.
KAIDAH KESEMBILAN
عند مبادلة ربوي بربوي آخر، لا يُشترط المعيار الشرعي عند عدم اشتراط التساوي
Para pertukaran barang-barang ribawi, tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard apabila tidak ada syarat harus sama ukuran jumlahnya.
Demikian pula pada pertukaran barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard syar’i.Pada pertukaran barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya, tidak dipersyaratkan harus dengan ukuran standard. Mengapa ? karena beda jenis maka tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya.
Dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i apabila terjadi pada barang-barang yang dipersyaratkan harus sama ukurannya karena sama jenisnya. Adapun jika kita tukarkan barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya maka kita boleh mengukurnya sesuai dengan kehendak kita. Baik pada barang-barang takaran maupun timbangan.
Contoh : barang ribawi dengan barang ribawi jenis lain
- Pertukaran emas dengan kurma. Sama saja apakah dengan timbangan, takaran atau tidak diukur sama sekali. Kurma lazimnya diukur dengan takaran. Akan tetapi apabila hendak kita tukar dengan emas atau riyal maka tidak mengapa kita mengukurnya dengan timbangan. Begitu pula emas.
- Gandum halus dengan gandum kasar. Keduanya lazim diukur dengan takaran. Selama tidak dipersyaratkan harus sama ukurannya maka tidak disyaratkan pula harus diukur dengan ukuran standard. Juallah 1 sho’ gandum kasar dengan 2 sho ‘ gandum halus. Atau 10 kg gandum kasar dengan 20 kg gandum halus. Atau juga 1 sho’ gandum kasar dengan 10 kg gandum halus. Diukur dengan timbangan atau takaran, semua boleh. Akan tetapi harus tunai.
Contoh Pertukaran barang yang berbeda dan tidak sama jenisnya :
- Kurma dengan riyal, maka hal ini tidak mengapa. Misalnya apabila kita membelinya dari pedagang kurma. Bukannya menakar, pedagang itu malah menimbangnya. Ini boleh. Mengapa demikian ? Karena kita tidak diharuskan untuk menyamakan ukuran. Antara kurma dan riyal berbeda jenisnya.
- Demikian pula contohnya apabila kita membeli beras. Kemudian diberikan 2 kg beras (bukan dengan ukurun sho’).Ini tidak mengapa. Kita tidak membeli barang ribawi yang sejenis, akan tetapi beda jenis. Dalam konteks ini, kita tidak dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i kerena kita tidak disyaratkan untuk menyamakan ukuran.
Begitu pula jika kita mengganti atau menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Atau tukar menukar barang yang bukan ribawi, maka tidak ada syarat menggunakan ukuran standard. Seperti kita menukar baju dengan baju.
Mengapakah para ulama mensyaratkan untuk menggunakan alat ukur yang standard ? Tidak lain supaya terwujud kesamaan dengan sebenarnya. Nabi bersabda:
مثلاً بمثل سواءً بسواء
” misal dengan semisalnya dan sama dengan persamaannya.”
Tidaklah terwujud persamaan ini kecuali dengan ukuran yang standard.
KAIDAH KESEPULUH
ما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل المدينة مكيلاً فهو مكيل ، وما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل مكة موزوناً فهو موزون إلى يوم القيامة
Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan takaran maka ia diukur dengan takaran.. Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan timbangan maka dia diukur dengan timbangan selamanya hingga hari kiamat.
Kaidah inilah yang ingin kita jelaskan terkait dengan landasan penggolongan barang yang ditimbang atau barang yang ditakar. Persisnya tatkala kita hendak menukar barang ribawi yang sejenis sehingga dipersyarakan untuk sama berdasar ukuran standard syariat. Dari sini timbul pertanyaan, barang apa saja yang ukuran standarnya adalah timbangan ? barang apa saja yang ukuran standardnya takaran ? maka kita jelaskan, bahwasanya dalam kaidah ini terdapat patokan-patokan sbb :
- Seluruh biji-bijian termasuk barang yang ditakar.Hal ini mencakup banyak barang seperti gandum halus, gandum kasar, jewawut, kacang, dsb.
- Seluruh benda cair adalah barang yang ditakar ( susu, yogurt, minyak, madu dsb..) maka tatkala hendak bertukar antara madu dengan madu, harus diukur dengan takaran. Begitu pula gandum dengan gandum, harus diukur dengan takaran pula.
- Seluruh benda logam adalah barang yang diukur dengan timbangan seperti besi, tembaga, kuningan dsb. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali. Yang benar, tidaklah berlaku hukum riba kecuali pada emas dan perak. Sedangkan menurut pendapat Syaikul Islam, maka emas dan perak dan apa-apa yang termasuk alat tukar atau alat pembayaran.
- Bulu dan sejenisnya termasuk barang-barang yang diukur dengan timbangan seperti wool, sutera, kapas dll. Segala hal yang menjadi bahan baku pakaian termasuk barang yang diukur dengan takaran.
- Kurma dan sejenisnya termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kaidah mengatakan bahwa barang apa saja yang dikenal dikalangan penduduk madinah pada zaman nabi sebagai barang takaran, maka barang itu dianggap barang yang diukur dengan takaran. Hal ini berlaku selamanya. Seperti biji-bijian dan benda-benda cair. Demikian pula setiap barang yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang timbangan maka dianggap sebagai barang yang diukur dengan timbangan selamanya. Seperti benda logam, emas & perak. Hal ini ditunjukkan oleh hadits nabi yang berbunyi,” takaran itu dengan takarannya penduduk madinah dan timbangan itu dengan timbangannya penduduk Makkah.”
Sebagian ulama berkata,” emas dan perak diukur dengan timbangan, adapun empat barang ribawi lainnya diukur dengan takaran. Adapun selainnya maka dikembalikan menurut kebiasaan masyarakat setempat.” Contoh, menukar sekantong beras dengan sekantong beras. Hal ini tidak boleh. Karena baras termasuk barang ribawi. Tidak boleh ditukar dalam keadaan belum diukur dengan ukuran standard syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar