Jumat, 06 Mei 2011

MENGUBAH POLA PIKIR

Mempelajari ekonomi, apalagi memperjuangkannya adalah sesuatu yang mungkin tidak pernah terbesit dalam benak sebagian manusia, seperti saya. Namun, terkadang takdir membuat manusia harus melewati apa yang ada demi sesuatu yang diyakininya bernilai mulia. Mempelajari ekonomi berarti mempelajari alokasi sumberdaya terbatas yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Begitulah pola pikir yang kita temui ketika berada di jenjang Sekolah Dasar, bahkan sampai di mata kuliah Pengantar Ekonomi di jenjang Perguruan Tinggi. Dari titik tersebut, pola pikir “manusia ekonomi” terbentuk. Manusia menganggap sumberdaya memang terbatas sehingga mereka harus bertarung mendapatkannya demi memenuhi kebutuhan, menganggap semua kebutuhan harus terpenuhi tanpa peduli, disertai pula dengan pola pikir ala hedonisme-nya Aristoteles. Pola pikir tersebut ternyata begitu berpengaruh dalam kehidupan manusia baik kaitannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun kehidupan bernegara.
Semakin mempelajari ekonomi, terkadang manusia menjadi lebih tidak manusiawi bila pola pikir yang terbentuk adalah pola pikir “manusia ekonomi”  dengan orientasi kebahagiaan duniawi yang egois. Pola pikir seperti ini sangat riskan menimbulkan moral hazard karena mau tidak mau kebutuhan (maupun kemewahan) yang ada harus dipenuhi. Kita saksikan ketika moral hazard melanda suatu negeri, janji duniawi yang bersifat materiil lebih mendominasi tujuan hidup manusia.

Betapa banyak orang berkualitas dengan materi tak terlalu banyak yang harus tersingkir karena konflik kebutuhannya dengan orang yang secara materi lebih kuat. Lebih jauh lagi, orang-orang bermateri kuat ini berusaha menguasai sumberdaya-sumberdaya penting untuk kepentingan konglomerasinya. Belum lagi ketika terjadi kepanikan akibat ekspektasi pesimistis terhadap kondisi suatu negeri, mereka menarik modalnya secara besar-besaran keluar negeri. Setelah itu, negeri tersebut mengalami krisis likuiditas yang membuat ketidakstabilan finansial. Ketidakstabilan yang berlarut-larut memicu terjadinya krisis finansial yang biasanya akan diikuti krisis ekonomi. Adanya krisis ekonomi nantinya akan memperparah moral hazard yang terjadi dan semakin menjauhkan manusia dari kebahagiaan baik duniawi (maupun ukhrawi).

Kunci pokok perubahan yang harus dilakukan untuk mengurai moral hazard tersebut adalah dengan mengubah pola pikir. Perubahan pola pikir ini merupakan bentuk mekanisme motivasi dan filterisasi dari individu. Pola pikir itu sendiri nantinya akan sangat berhubungan dengan akidah manusia terhadap Tuhannya. Kepercayaan manusia terhadap kehidupan akhirat akan membantu manusia menyeimbangkan orientasi hidupnya. Mereka akan berusaha memenuhi kebutuhannya -mencapai tujuan hidup- berdasarkan nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan humanitarian dan spiritual.

Jika kita kaitkan lebih jauh dengan pola pikir yang telah disebutkan di awal tulisan ini, maka kenyataan bahwa sumberdaya terbatas yang harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dapat disikapi dengan lebih bijak tanpa mengabaikan kebutuhan pribadi maupun tujuan humanitarian dan spiritual. Sumberdaya terbatas sebenarnya merupakan kelangkaan yang sifatnya relatif mengingat Alloh telah menjanjikan (dan janji Alloh pasti benar adanya), “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya…” (Huud: 6).

Keterbatasan relatif inilah yang akan membuat munculnya inovasi-inovasi sehingga keterbatasan bukanlah alasan untuk membuat manusia berkompetisi ala rimba demi memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang harus dipenuhi pun hendaknya juga perlu dipilah-pilah kembali. Apakah benar-benar merupakan suatu kebutuhan, atau hanya merupakan kemewahan yang bila tidak dipenuhi juga tidak mengancam keberlangsungan hidup manusia. Pemilahan bentuk konsumsi menjadi kebutuhan dan kemewahan merupakan nilai mulia yang mengharuskan kita memiliki sifat qana’ah. “Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Alloh menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (H.R. Muslim)

Setelah melakukan perubahan pola pikir, mekanisme lanjutan yang diperlukan adalah restrukturisasi yang bersifat sosial-politik untuk menjamin terjaganya pola pikir tersebut. Peran negara sangat diperlukan dalam masalah ini. Bentuk peran yang dapat diambil adalah dengan pemenuhan kewajiban negara (yang berarti pemenuhan hak rakyat) bahkan perlu dilakukan “intervensi”. “Intervensi” di sini adalah intervensi bermoral yang mengarah pada keadilan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam masalah keadilan, “Segala sesuatu yang baik adalah komponen dari keadilan dan segala sesuatu yang buruk adalah komponen dari kezaliman dan penindasan. Karena itu, berbuat adil kepada apapun dan siapapun merupakan keharusan bagi siapa saja dan kezaliman tidak boleh ditimpakan kepada apapun dan siapapun.” (Majmu' Fatawa)

Lebih jauh lagi, bentuk intervensi yang adil ini sebenarnya merupakan penegakan supermasi hukum yang muaranya adalah terciptanya kebahagiaan manusia yang diridhoi Alloh Ta’ala. Rasululloh bersabda, “…Wahai manusia! Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu ialah, manakala seorang yang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun bila seorang yang lemah di antara mereka mencuri, maka mereka akan melaksanakan hukum hudud atas dirinya.” (H.R. Muslim). Keberpihakan negara terhadap kepentingan umum, dalam hal ini penegakan hukum,  akan menjamin kewibawaan negara yang menumbuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Kepercayaan inilah yang akan membuat mekanisme restrukturisasi dapat berjalan baik karena kesadaran akan kepemimpinan telah tercipta, bail dari pihak rakyat maupun dari pihak pemimpin.
 
Di akhir tulisan ini, saya akan menukil sebuah hadist yang panjang ketika Rasululloh memerintahkan Amru bin ‘Ash untuk ikut berperang agar Alloh memberikan ghonimah kepadanya. Rasululloh merasa senang jika Amru bin ‘Ash mendapatkan harta ghonimah tersebut. Di akhir hadist tersebut Rasululloh bersabda,  “… sebaik-baiknya harta yang baik adalah milik orang sholih." (H.R. Bukhori). Hadist ini memiliki makna yang begitu dalam. Jika harta dimiliki oleh orang sholih (orang yang memperhatikan serta menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak sesama), tentu manfaat yang akan dirasakan jauh lebih besar karena orang yang sholih tahu bagaimana menginvestasikan harta yang dimilikinya. Perubahan pola pikir yang dimaksudkan di atas diupayakan agar mengarah pembentukan karakter manusia sholih yang mampu menyesuaikan tujuan hidupnya -mencari kebahagiaan-  tanpa mengabaikan tujuan-tujuan humanitarian dan spiritual.

Ekonomi merupakan disiplin ilmu yang sangat berkaitan dengan sumberdaya -yang bisa diartikan dengan harta- dan kebahagiaan. Penguasaan harta dan pengeloaannya menjadi sangat penting mengingat harta adalah salah satu perkara yang dimintai pertanggungjawaban di Yaumul Hisab kelak. Perjuangan untuk memberikan pemahaman mengenai harta sangat diperlukan di zaman yang semakin banyak manusia yang tidak peduli darimana dia memperoleh hartanya. Di situ lah peran para ekonom rabbani diperlukan. Ekonom yang mengubah pola pikir dengan keseimbangan orientasi.

1 komentar:

  1. Karena sebetulnya kata "ekonomi" memang sudah lekat terdengar di setiap harinya, sehingga begitu agak bosan jika selalu membahasnya, namun dengan tulisan yang kamu uraikan cukup menambah inspirasi dalam memahami kata "ekonomi" dalam makna yang lebih dari sekedar arti umumnya,,,
    Bagi saya yang awam, hal ini dapat menjadikan ladang ilmu baru,,,

    BalasHapus