Minggu, 19 Desember 2010

MEMBANGUN PONDASI EKONOMI YANG SYAR’I

ABSTRAK
Sejarah telah membuktikan bahwa bunga (riba’) sangat berbahaya bagi sistem keuangan dunia. Lebih dari itu, sistem keuangan konvensional yang identik dengan sistem ribawi telah menciptakan krisis yang multidimensi. Berangkat dari hal inilah lembaga-lembaga ekonomi berbasis syari’ah mulai bermunculan. Hanya saja terkadang “kesyari’ahan” lembaga-lembaga ini terbatasi oleh aturan-aturan yang telah berlaku di sebuah negara sehingga nama syari’ah masih belum benar-benar syar’i.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menerapkan ekonomi syar’i secara utuh. Namun, banyak pula yang lupa membangun dasar-dasarnya. Di antara dasar-dasar tersebut adalah pemahaman aqidah dan dasar muamalah yang diharamkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Penekanan ini merujuk pada kaidah : Dasar hukum ibadah adalah haram, kecuali apa yang telah diperintahkan Alloh dan Rosul-Nya. Sementara dasar hukum muamalah, berbagai perniagaan dan mata pencaharian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali apa yang telah diharamkan Alloh dan Rosul-Nya. Strategi lain untuk membangun pondasi ekonomi syari’ah adalah melibatkan institusi yang memiliki kemampuan untuk menjadi media sosialisasi –dalam hal ini institusi pendidikan dan institusi keuangan-. Keterlibatan dunia pendidikan tentu akan mendukung penerapan ekonomi yang syar’i melalui kajian-kajian akademik yang stategis dan penelitian-penelitaian ilmiah. Sementara itu, institusi keuangan dapat menggunakan hasil kajian maupun penelitian tersebut sebagai dasar pertimbangan pembuatan produk-produk keuangan, bahkan lebih jauh lagi menjadi dasar usulan penerbitan produk-produk hukum keuangan yang diterbitkan oleh legislatif maupun eksekutif.

PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang menjadi tren setiap dekade membuat manusia berpikir untuk menemukan solusi atas krisis tersebut. Roy Davies dan Glyn Davies dalam buku “A History of Money from
Ancient Time to the Present Day” (1996), menulis dan menyimpulkan, “Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis. Kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan”. Kebanyakan pakar ekonomi pun mulai mempertanyakan keampuhan sistem ekonomi kapitalis. Bahkan, banyak pula kalangan yang mulai berpikir untuk mendefinisikan ulang arti ekonomi dari definisi yang muncul dari pemikiran Adam Smith. Perubahan “perang” dari perang fisik ke perang ekonomi, pengekangan kebebasan personal maupun kolektif demi produktivitas dan efisiensi, serta ketidakmampuan indikator-indikator ekonomi merefleksikan keadaan sebenarnya diyakini menjadi alasan utama mengapa redefinisi ekonomi perlu dilakukan.

Berangkat dari hal-hal yang telah penulis sebutkan di atas, para ahli mulai berpikir untuk mengganti sistem ekonomi yang telah ada dengan sistem baru yang lebih tahan krisis dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat. Studi-studi untuk menggantikan sistem yang telah ada sejak teori Adam Smith (teori klasik) terbukti tidak mampu mengatasi masalah ekonomi yang ada saat itu. Diawali dari Keynes dengan kebijakan fiskal-nya, teori-teori moneter dari kalangan Neo Klasik, sampai studi tentang ekonomi yang rujuk kepada syari’at agama. Selanjutnya, penulis akan memfokuskan pembahasan pada studi ekonomi yang merujuk pada syari’at agama –dalam hal ini, agama Islam-.

Geliat untuk menggunakan sistem ekonomi berbasis syari’at Islam pun mulai terasa. Tidak hanya di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, di negara-negara non-Muslim, seperti Inggris dan Jerman, pun geliat itu terasa. Institusi-institusi keuangan berlabel syaria’h bermunculan. Bahkan institusi keuangan konvensional juga mulai mendirikan cabang syari’ahnya baik berupa cabang usaha tersendiri maupun berupa produk-produk alternatif. Peminat produk-produk syari’ah dari institusi-institusi keuangan pun makin bertambah. Ada di antara mereka yang menggunakan produk-produk keuangan syari’ah karena prospeknya yang cerah secara finansial. Ada pula yang menggunakannya karena alasan mentaati aturan agama. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah produk-produk tersebut sudah benar-benar sesuai syariah atau masih berupa nama saja. Aturan-aturan pemerintah yang mengatur regulasi produk-produk tersebut juga masih dipertanyakan, terutama yang berkaitan dengan institusi perbankan berbasis syari’ah.

PEMAHAMAN AQIDAH YANG BENAR
Ketika kita berbicara masalah ekonomi yang sesuai syari’at, maka kita harus membahas hukum-hukum. Sementara sikap taslim pada hukum-hukum tersebut hanya mungkin wujud melalui pemahaman aqidah yang benar. Lebih dari itu, hakikat diutusnya para rasul juga untuk memperbaiki aqidah. Aqidah seorang muslim adalah tauhid.

Tauhid berasal dari kata wahhada yuwahhidu (وحد يوحد) yang artinya menjadikan sesuatu itu satu saja. Pengertian tauhid yang umum adalah mengesakan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Para rasul yang diutus mulai dari rasul yang pertama, yaitu Nabi Nuh ‘alaihi wasalam, sampai rasul terakhir diutus oleh Alloh Azza wa Jalla kepada pengesaan Alloh dalam peribadatan.

dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (Huud : 25-26).

Ayat-ayat surat Huud selanjutnya berisi kisah-kisah para rasul yang pada awal kisah rasul tersebut diawali dengan,
  
…ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia.”

Para rasul diutus untuk menyeru kepada tauhid ibadah (‘uluhiyah) karena telah maklum bahwa manusia yang mengingkari tauhid rububiyah sangat sedikit. Bahkan mereka yang mengingkari eksistensi Alloh, pada hakikatnya tidak bisa mengingkari.

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rejeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (Yunus : 31).

Alloh telah memberikan kita rejeki, menciptakan kita, mengatur segalanya, bahkan kekuasaan tertinggi jagad ini mutlak berada di tangan-Nya. Wajar jika Alloh menyuruh kita untuk mempersembahkan ibadah untuk-Nya. Namun, permasalahan mulai muncul ketika manusia diperintahkan untuk beribadah hanya untuk-Nya.

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5)

Ketika pemahaman bahwa tujuan hidup adalah beribadah hanya kepada Alloh saja belum tercapai, maka sikap taslim untuk menerima hukum-hukum Alloh pun sulit dicapai sebab taslim merupakan kesadaran. Aturan-aturan hidup yang telah Alloh ciptakan pun menjadi mudah dilanggar.

PEMAHAMAN DASAR EKONOMI ISLAM
Pembahasan mengenai ekonomi Islam mengharuskan pengkajian yang mendalam terkait dua domain. Pertama domain berkaitan dengan Islam, kedua domain ekonomi. Dari titik inilah, pengertian ekonomi Islam dapat dipahami.

Para ahli berusaha memberikan definisi tentang ilmu ekonomi Islam dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Umar Chapra mendefinisikan ilmu ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang bersifat langka, yang sesuai ajaran Islam tanpa menafikan kebebasan individual atau menciptakan ketidakseimbangan ekologis dan kondisi makro. Mannan mendefinisikan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi bagi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi Islam berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi barang serta jas dalam kerangka masyarakat ekonomi Islam dimana jalan hidup Islam ditegakkan sepenuhnya. Menurut Mannan, yang membedakan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola struktur, arah, dan komposisi produksi, distribusi, dan konsumsi. Sehingga, menurut Mannan, tugas ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehngga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil. A.M. Hasan Ali dan M. Nadratuzzaman Hosen dalam Tanya Jawab Ekonomi Syari’ah menyebutkan enam prinsip ekonomi syari’ah, yaitu :
  • Berbagai sumberdaya dipandang sebagai pemberian atau titipan Alloh kepada manusia.
  •  Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
  • Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama.
  • Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai segelintir orang saja.
  • Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
  •  Seorang muslim harus takut kepada Alloh dan hari akhir.


Kunci dari pembahasan ekonomi Islam adalah memahami permasalahan muamalah maliyah. Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل). Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan “ibadah” membahas hak-hak Allah. Setelah jelas bahwa pembahasan kita hanya membahas muamalah maliyah (harta), maka perlu kita perlu mengetahui pengertian al-maal dalam syariat Islam. Yang dimaksud dengan harta (al-maal) dalam pengertian syariat adalah:
هُوَ كُلُّ عَيْنٍ مُبَاحَةُ النَّفْعِ بِلاَ حَاجَة
“Semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena hajat.”
Termasuk dalam definisi ini: emas, perak, gandum, kurma, garam, mobil, bejana, rumah, dan lain-lainnya. Yang dimaksud dengan kata (مباحة النفع) adalah benda tersebut memiliki manfaat, sehingga benda yang tidak memiliki manfaat tidak termasuk dalam definisi ini, begitu pula benda yang haram.  Adapun maksud pernyataan (بلا حاجة) adalah kebolehannya bukan disebabkan kebutuhan dan darurat, sehingga mengeluarkan semua yang dibolehkan karena kebutuhan dan darurat.

Sebelum lebih jauh memahami permasalahan muamalah maliyah, terdapat kaidah yang sangat penting, yang memberikan batasan-batasan muamalah yang diperbolehkan dan muamalah yang diharamkan. Kaidah tersebut adalah
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ
“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan diperbolehkan”.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Kaidah ini merupakan dasar hukum yang besar dan menjadi sandaran dalam muamalah dan tradisi. Jadi, siapapun yang mengharamkan sesuatu dari hal itu, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang mengharamkan muamalah maupun tradisi tersebut. Hal tersebut menunjukkan keluwesan syari’at dan keluasan relevansinya untuk setiap waktu dan tempat sesuai dengan tuntutan dan kemaslahatan umat.

Karena setiap muamalah pada dasarnya dihukumi halal, maka syarat-syarat yang berkaitan juga hukum asalnya halal sehingga muncul kaidah,
الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ
“Hukum asal dalam syarat-syarat (yang ditetapkan) dalam muamalah adalah halal”

Semua syarat yang diajukan salah satu transaktor, baik syarat tersebut merupakan tuntutan transaksi (akad), syarat untuk kemaslahatan akad (transaksi), atau syarat sifat atau syarat manfaat pada asalnya adalah boleh. Namun, Syarat-syarat ini tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu:
  •   Syarat-syarat yang ditetapkan syariat kebolehannya. Ini diperbolehkan.
  •  Syarat-syarat yang ditetapkan syariat larangannya. Ini jelas dilarang.
  • Syarat-syarat yang didiamkan oleh syariat. Ini kembali ke hokum asalnya.


Kaidah selanjutnya adalah
الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا
Hukum asal  setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan dari kedua belah pihak.”

Kaidah ini berlaku pada muamalah dan selainnya, bahkan juga dalam masalah i’tikad. Pada asalnya, dalam seluruh akad transaksi harus adil, dan demikianlah yang diajarkan syariat Islam. Sudah maklum adanya bahwa semua syariat Allah turun dengan mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam segala sesuatu dan kepada segala sesuatu.

Kaidah-kaidah di atas merupakan kaidah tengah-tengah yang berpijak pada keadilan dan kemaslahatan dari berbagai sisi. Berdasarkan kaidah ini pula, muamalah tidak dapat dikeluarkan dari hukum mubah kecuali jika ada hal yang memperingatkan (mengharamkan)nya. Sebagai contoh adanya riba’, penipuan, kedustaan, penipuan, dan ketidaktahuan, menggiring pada kedholiman dan keadilan yang timpang. Menurut Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Ali Bassam dalam Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam, para ‘ulama menyimpulkan bahwa muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada beberapa batasan, yang paling besar adalah tiga perkara berikut ini :
  •   riba’, 
  • ketidaktahuan dan penipuan, serta  
  • ketidakjelasan.

Sementara masyarakat kita sering menyebut muamalah yang dilarang dengan sebutan MAGHRIB (Maysir/Perjudian, Gharar/Penipuan, dan Riba’/Bunga).

Pemahaman terhadap tiga kaidah di atas akan sangat membantu memahami berbagai hal dalam muamalah maliyah yang selanjutnya akan memudahkan kita memahami permasalahan-permasalahan ekonomi syari’ah.

MELIBATKAN INSTITUSI YANG MEMILIKI KEMAMPUAN MENJADI MEDIA SOSIALISASI
Setelah memahami dua dasar di atas (tauhid dan dasar ekonomi syari’ah), perlu dilakukan sosialisasi agar pemahaman tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dua institusi utama yang menurut hemat penulis memegang peran yang penting adalah institusi pendidikan dan institusi keuangan itu sendiri.

Terasa sangat sulit ketika institusi formal tidak kita libatkan dalam usaha membebaskan masyarakat kita dari praktek-praktek muamalah yang haram. Adanya institusi formal akan membuat usaha ini memungkinkan untuk memiliki kekuatan hukum.

Institusi pendidikan dapat dilibatkan melalui kegiatan-kegiatan ilmiah dalam penerapan ekonomi syariah. Studi keilmiahan mencakup berbagai aspek mulai dari pengambilan dalil, penerapannya dalam kehidupan, sampai perhitungan laba-rugi yang nantinya akan mengubah paradigma masyarakat bahwa ekonomi yang syar’i bukanlah ekonomi dengan pasar emosional sementara ekonomi konvensional adalah ekonomi dengan pasar rasional.

Pelajaran mengenai ekonomi syari’ah pun harus mulai dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dari SMP sampai SMA. Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa pelajaran ekonomi yang kita peroleh selalu berpijak pada landasan ekonomi konvensional. Baru akhir-akhir ini teori-teori mengenai perbandingan ekonomi konvensional dan ekonomi syari’ah mulai dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran ekonomi. Itu pun kebanyakan baru di tingkat perguruan tinggi dimana pemahaman kita telah teracuni pemahaman ekonomi konvensional.

Hasil kegiatan-kegiatan ilmiah dari institusi pendidikan pun akan dipublikasikan dan dapat dimanfaatkan oleh institusi keuangan untuk diaplikasikan dalam kegiatan usaha mereka setelah mereka juga melakukan uji kelayakan. Pertumbuhan institusi-institusi keuangan syariah yang pesat juga bisa dijadikan indikator bahwa peluang bisnis syari’ah lebih menguntungkan. Setidaknya berdasarkan kaidah di atas tadi, tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Berikut ini adalah salah satu keberhasilan penerapan ekonomi syari’ah yang diterapkan Islamic Development Bank (IDB). Sejak awal didirikan pada tahun 1973, IDB didirikan untuk mendorong pembangunan ekonomi dan sosial negara anggota mupun komunitas Muslim di negara-negara non anggota sesuai prinsip syariah. Berdasarkan rating yang dilakukan tiga lembaga pemeringkat internasional terkemuka yaitu Standard & Poor’s, Fitch, dan Mood’s, IDB merupakan lembaga keuangan dengan rating tertinggi (Triple A). Selain iu, IDB juga diakui sebagai bank yang memenuhi syarat untuk Zero Risk-Weight oleh Komite Basel pada Pengawasan Perbankan tahun 2004 dan Uni Eropa 2007.

Hasil kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan institusi pendidikan maupun hasil pencapaian institusi keuangan tentunya akan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mulai melirik penerapan ekonomi syari’ah. Meski tidak mungkin terjadi revolusi besar-besaran, hal ini merupakan usaha yang patut diapresiasi dan didukung agar penerapannya sesuai syari’ah.

PENUTUP
Penerapan ekonomi syari’ah wajib dilakukan mengingat hal tersebut bersinggungan erat dengan kehidupan manusia. Pembahasan mengenai masalah ekonomi tidak terlepas dari masalah penggunaan harta. Padahal, halal dan haramnya harta sangat menentukan posisi kita di akherat kelak. Tak hanya itu, harta yang haram juga merupakan penghalang kebaikan sebagaimana dalam hadist yang sangat panjang dijelaskan bahwa ada seseorang yang sedang bepergian jauh, berpakaian compang-camping, berambut kusut, mengangkat tangan ke atas langit tinggi-tinggi dan berdoa , “Ya Robbi, ya Robbi.” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram. Maka bagaimana terkabul doanya? (Lihat Shahih Muslim dalam Kitab Zakat)

Referensi :
Abidin, Zainal. 2008. Jihad Melawan Korupsi. Jakarta :Pustaka Imam Abu Hanifah.
Bassam, Abdulloh bin Abdurrohman Ali. 2008. Edisi Indonesia : Syarah Hadist Pilihan Bukhori-Muslim. Jakarta : Darul Falah.
Hosen, M. Nadratuzzaman dan A.M. Hasan Ali. 2007. Kamus Populer Keuangan dan Ekonomi Syariah. Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.
Hosen, M. Nadratuzzaman dan A.M. Hasan Ali. 2007. Tanya Jawab Ekonomi Syariah. Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.
Hosen, M. Nadratuzzaman dkk. 2008. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.
Wahhab, Muhammad bin Abdul. 2004. Edisi Indonesia : Kasyfu Syubhat Membongkar Akar Kesyirikan Dilengkapi Ushulus Sittah. Yogyakarta : Media Hidayah.
Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Maliyah. Kholid Syamhudi. Sumber : www.konsultasisyariat.com

 (disampaikan dalam Forum Group Discussion SAFF Juli 2010)



2 komentar:

  1. ijin nyimak pak, Panjang banget. saya belum berani nulis ginian. Ilmu rendah.

    BalasHapus
  2. ini makalah pas fgd....ya...belajar nulis...kalo salah silahkan dikoreksi..^_^

    BalasHapus