Minggu, 19 Desember 2010

NILAI, NILAI, DAN NILAI: SEBUAH CURAHAN HATI

Tahun 2008, sekitar bulan September, saya diterima di sebuah perguruan tinggi kedinasan yang begitu wah di mata orang. STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, kawah candradimuka calon punggawa keuangan negara. Berbeda dengan kebanyakan teman yang umumnya langsung berbahagia ketika diterima di STAN, saya justru agak berat untuk memasukinya. Ya, memang saya terpaksa ikut tes USM dua kali demi Ibu, wanita yang tak kuasa saya tolak pintanya.

Waktu terus berlanjut dan saya berusaha enjoy dengan takdir yang memang harus dijalani. Meski ada keterpaksaan, saya selalu cumlaude. Sebuah kebanggaan tersendiri memang. Hanya seiring berjalannya waktu ada ada ganjalan yang memang aneh. Saya merasakan ini ketika di tahun kedua studi saya di STAN. Mungkin Anda juga merasakan hal yang sama.

Menjadi pengejar nilai, itu yang saya rasakan. Ketika orang menyebut belajar adalah proses, saya tidak bisa merasakan sebuah proses dalam studi saya di sini. Bagaimana tidak, menjelang ujian (UAS dan UTS) kisi-kisi merajalela. Para mahasiswa pun berusaha mencari “resep sakti” itu sebelum bertempur esok harinya. Dengan kecerdasan yang memang di atas rata-rata, mereka dapat menghafalkan materi yang diujikan dalam waktu tak begitu lama. Ada yang mengistilahkan SKS (Sistem Kebut Semalam), bahkan ada yang lebih parah SKSS (Sistem Kebut Setelah Subuh). Hanya mereka yang luar biasa yang tetap meyakini bahwa proseslah yang harus mereka kejar. Mereka yang belajar dengan proses. Bukan seperti saya dan (mungkin) kebanyakan mahasiswa STAN yang belajar dengan metode H-1.

Sebuah ironi memang. Proses yang harusnya terbentuk dalam delapan pekan untuk setiap ujian dipangkas menjadi satu malam. Belum lagi sikap dosen yang kadang aneh bila tak mau dikatakan tak pantas. Mulai dari yang hobi pukul rata, tidak adanya standar yang jelas anta dosen terutama untuk spesialisasi dengan jumlah kelas banyak, hobi contreng yang tidak sesuai dengan sesi yang seharusnya, sampai “pemberian soal ujian” sebelum ujian dengan kedok kuis . Wajar memang. Dosen kami adalah praktisi. Pegawai lapangan yang juga memiliki amanah lain di luar sana. Hanya, saya merasa aneh dan terdzolimi. Belajar yang seharusnya berorientasi proses menjadi berorientasi hasil. Mengejar nilai agar tak ter-drop out. Meraih cumlaude. Menjadi raja di kelasnya.

Terkadang saya merasa iri dengan teman-teman saya di luar sana yang terlihat luar biasa. Terkadang saya juga merindukan saat-saat ketika saya sibuk dengan laporan-laporan dan tugas-tugas presentasi seperti dulu. Seperti ketika saya “dipaksa untuk belajar”. Namun, ini yang terjadi di STAN. Terjadi terhadap (mungkin) mayoritas mahasiswa STAN seperti saya. Tak dapat dipungkiri, proses belajar memang direpresentasikan oleh hasil/nilai. Hanya terkadang ada jalan pintas yang merusak proses itu sendiri.

Entah lah. Itu baru lingkup kecil. Di sebuah kampus plat merah. Jika kita mau melihat lebih jauh, ada kesan bahwa negeri ini memang berorientasi hasil. Anda tentu melihat bagaimana para pemimpin yang harus kita taati begitu membanggakan pertumbuhan ekonomi negeri ini. Bahkan menjadi indikator makro yang digunakan untuk menyusun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Padahal pertumbuhan itu sama sekali tidak mencerminkan unsur distribusi. Anda juga pasti melihat bagaimana Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP) begitu dipamer-pamerkan. Belum juga sistem budjeting negeri ini yang harus terserap entah bagaimana caranya.

Tulisan ini hanyalah sekedar curahan hati seorang mahasiswa bodoh yang harus dipaksa belajar dan (mungkin) berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Sebenarnya saya menikmati ilmu-ilmu yang disampaikan para dosen saya. Mereka adalah seorang expert di bidangnya masing-masing. Saya hanya berharap beliau-beliau mau dan mampu meluangkan waktunya seperti jadwal yang telah disepakati sebelumnya.Taruhlah harus memenuhi amanah di tempat lain yang waktunya bersamaan, saya berharap beliau-beliau mendatangkan semacam asisten atau dosen pengganti yang tentu saja juga menguasai materi yang harus disampaikan. Bila memang tidak bisa, saya berharap tidak dirapel dalam satu hari. Tidak akan efektif menyampaikan materi jika kejenuhan telah menyerang. Satu lagi, saya berharap dosen yang mengajar sayalah yang memberikan. Saya memang selalu diuji oleh dosen yang mengajar saya secara langsung. Namun, saya merasakan ketidakpuasan pada rekan-rekan saya. Ada yang sekelas diajar oleh dosen-dosen killer, ada pula dosen-dosen bonus, yang beliau-beliau semua adalah pribadi yang sangat saya hormati.

Harapan ini ditulis sebagaimana hati sangat ingin menjadikannya wujud. Bahkan, jikalau saya tidak bisa merasakan harapan saya ini, saya ingin mewujudkannya untuk adik-adik saya. Wanna be BPPK’ers!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar