K: “Kalau begitu, apa konsep Persatuan Islam menurut Bapak?”
S: “Yaitu sebuah lingkaran besar kaum muslimin yang mengatakan Lailaaha illallah Muhammaddarrasulullah, menjalankan kitabullah, Sunnah Nabi serta Ijma’ para shahabat. Mereka itu adalah saudara, sehingga wajib dibela. Yang di luar lingkaran itu adalah musuh.”
K: “Kalau melihat konsep yang sederhana itu, saya berkesimpulan bahwa Islam itu ya Islam, tidak butuh lagi dengan organisasi atau perkumpulan. Bukankah begitu?”
S: “Organisasi/perkumpulan itu bisa saja diperlukan, yaitu sebagai sarana bagi kita untuk mempermudah dakwah dan menyerukan manusia kepada lingkaran besar Islam. Tapi kalau organisasi/perkumpulan/kelompok/partai itu didirikan untuk mengajak manusia masuk kepada kelompok mereka, maka mereka telah membuat sebuah lingkaran kecil di dalam lingkaran besar kaum muslimin. Organisasi seperti inilah yang justru akan memecah belah umat.
Imam Malik berkata, ‘Apabila Anda melihat suatu kelompok dalam Islam yang menyerukan Umat Islam masuk kepada kelompoknya, bukan menyerukan kepada Islam, maka ketahuilah bahwa kelompok itu adalah sesat.’ Ini bukan kata saya, ini kata Imam Malik.”
K: “Tapi, pada kenyataanya umat Islam itu sendiri telah berkelompok-kelompok, dan setiap kelompok mempunyai ciri-ciri tertentu, apa tanggapan Bapak?”
S: “Ananda jangan heran, itu adalah realita yang telah dikabarkan oleh Nabi. Namun demikian, kita tidak boleh pasrah, kita dituntut untuk terus berusaha kepada persatuan umat dan jangan bercerai berai karena itu adalah perintah Allah dalam Al-Qur'an.”
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
"…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan me-reka." (Ar-Ruum: 31-32)
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tem-patnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-jama'ah." (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafidh menggolongkannya hadits hasan).
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya." (HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' 5219)
"…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan me-reka." (Ar-Ruum: 31-32)
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tem-patnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-jama'ah." (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafidh menggolongkannya hadits hasan).
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya." (HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' 5219)
K: “Kalau begitu, bagaimana kalau kita rangkul saja semua kelompok-kelompok Islam itu, mulai dari Syi'ah yang menghujat para shahabat sampai semua kelompok di kalangan ahlu sunnah, yang penting mereka mengaku Tuhan kami adalah Allah dan Nabi kami adalah Muhammad. Lalu kita berjuang dalam sebuah partai untuk kemenangan Islam dan untuk sementara tidak memperselisihkan perbedaan.”
S: “Ide yang tidak terlalu jelek, saya hargai pendapat Ananda. Namun sayangnya, cara seperti itu tidak akan pernah berhasil di dalam konsep demokrasi itu sendiri.”
K: “Maksud Bapak?”
S: “Coba Ananda fikirkan, anggap saja dengan cara itu akhirnya umat Islam akan meraih suara terbanyak dan menang, lalu apa kira-kira yang akan terjadi?”
K: “Tentunya kita bisa menerapkan hukum Islam dengan leluasa.”
S: “Hukum Islam yang bagaimana? Yang sesuai dengan Kitab wa sunnah seperti pada zaman Nabi dulu, atau Hukum Islam yang bisa mengakomodasi seluruh pemahaman yang ada pada kelompok-kelompok yang bersatu tadi? Karena Ananda harus ingat, di dalam konsep demokrasi, setiap orang berhak untuk menuntut haknya. Kaum Syi'ah akan meminta masjid untuk menghujat para shahabat, kaum Sunni Quburiyyun akan tetap minta diperbolehkan berkunjung ke kuburan-kuburan. Semua sekte yang telah berhasil memenangkan partai tersebut, akan meminta hak untuk beribadah sesuai dengan cara mereka, atas nama demokrasi.”
K: “Jadi menurut Bapak, tidak mungkin kita bisa menerapkan hukum Islam yang shohih, setelah kita memenangkan pemilu tersebut?”
S: “Mustahil menurut konsep demokrasi. Karena persatuan Islam dengan cara itu hanyalah persatuan jasadi, bukan persatuan Islam sesungguhnya. Setiap kelompok yang berbeda-beda itu akan kembali menuntut haknya masing-masing dengan mengatasnamakan demokrasi.”
K: “Kalau begitu, adakah cara lain untuk menunaikan perintah Allah agar kita menuju persatuan Islam?”
S: “Seperti telah saya katakan, realitas perpecahan umat ini telah dikabarkan oleh Rasulullah pada 14 abad yang lalu, dan jalan keluarnya pun telah pula dijelaskan oleh Beliau.”
K: “Apa jalan keluar menurut Beliau (Hadits)?”
S: “Pertama: Perintah untuk menjauhi semua kelompok yang ada. Kedua perintah utk ruju' (kembali) kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahku. Kalau dikatakan ‘kembali’, maka hal itu akan mempunyai dua makna.
Pertama: orangnya telah berjalan terlalu jauh, kedua: jalannya itu sendiri yang kejauhan/salah jalan/rambu-rambunya rusak atau tersamar. Maka untuk membuat ‘orangnya’ bisa kembali, kita harus memberikan arahan kepadanya, yaitu berupa petunjuk/pendidikan (tarbiyyah) agar orang tersebut bisa mencari jalan pulang. Adapun terhadap ‘jalannya’, maka kita harus benahi jalan itu, bersihkan,murnikan (tasfiyyah) agar orang lain tidak kembali menempuh jalan itu, walaupun orang munafik tidak menyukainya. Melalui hadits ini, Rasulullah telah memberikan solusi metoda dakwah akhir zaman, ketika umat Islam telah berkelompok-kelompok. Inilah metoda dakwah menuju persatuan hakiki, yaitu persatuan jasadi warruuhi.”
"Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta'at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid'ah, sedang setiap bid'ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka)." (HR. Nasa'i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).
K: “Memang begitulah idealnya. Karena dengan bersatunya pemahaman, maka otomatis jasadnyapun akan bersatu. Namun demikian, akan lama sekali rasanya kemenangan itu tercapai?”
S:” Lama atau cepat bukan urusan kita. Itu urusan Allah. Kita tidak dituntut untuk cepat-cepat. Bahkan kemenangan itu sendiripun bukan suatu tuntutan. Kemenangan pada hakekatnya adalah pemberian dari Allah. Yang Allah tuntut dari diri kita adalah bagaimana kita menunaikan jalan menuju kemenangan tersebut sesuai dengan konsep nubuwwah.”
K: “Kalau begitu, kapan kita bisa mendirikan sebuah Daulah Islam?”
S: “Daulah hanyalah sebuah sarana dakwah, bukan tujuan dakwah. Sarana itu memang harus kita capai, namun bukan dengan mengorbankan tujuan. Tujuan dakwah adalah yang asasi. Tujuan dakwah adalah mentauhidkan Allah dan "memurnikan" Islam, dengan cara menuntut dan menyebarkan ilmu, serta mempersatukan umat sesuai dengan konsep nubuwwah tadi.“
lalu Kami utus kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): "Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya). (Al Mu'minuun : 32)
K: “Tapi, bagaimana mungkin bapak bisa mengatakan bahwa ‘mendirikan daulah’ itu bukan salah satu tujuan dakwah?”
S: “Baiklah, apakah Ananda ingat kisah Rasulullah dengan pamannya Abu Thalib?”
K: “Kisah yang mana Pak, ada beberapa kisah yang saya ingat.”
S: “Kalau seandainya mendirikan daulah, atau menjadi presiden, atau mencapai kekuasaan adalah tujuan dakwah, maka Rasulullah telah memilih kesempatan itu di awal masa datangnya Islam, tanpa harus berperang! Ingatkah Ananda, ketika kaum kafir Quraisy melalu lisan Paman Nabi, Abu Thalib, menawarkan: ‘Seandainya engkau menghendaki wanita, maka mereka akan mencari wanita-wanita tercantik untuk dinikahkan dengan engkau, atau harta, maka mereka akan mengumpulkan seluruh kekayaan Quraisy dan diberikan kepada engkau, atau menjadi raja, maka mereka akan membai'at engkau menjadi raja.’ Namun apa jawaban Beliau?”
K: “Apa kata Beliau Pak?”
S: “Beliau bersabda: ‘Sekali-kali tidak wahai pamanku!, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, maka sekali-kali aku tidak akan gentar, sampai Allah memenangkan urusanku, atau aku binasa bersamanya.’"
K: “Subhanallah, mengapa Beliau tidak memilih menjadi raja, bukankah beliau politikus ulung?”
S: “Politikus ulung hanyalah julukan orang-orang, tapi beliau adalah seorang Nabi. Seorang Rasul yang diturunkan dengan membawa konsep dakwah nubuwwah. Kalau seandainya beliau adalah politikus, maka sudah tentu beliau akan memilih menjadi raja. Karena dengan menjadi raja, maka harta akan Beliau peroleh, wanita yang cantik akan mudah Beliau dapatkan, bahkan dakwah pun akan lebih mudah disebarkan. Tapi sekali lagi, Beliau bukan seorang politikus, Beliau adalah seorang Nabi, yang mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah 'azza wa jalla.”
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (An Nisaa' : 165)
K: “Jadi, mencapai kekuasaan itu bukan tujuan dakwah?”
S: “Begitulah. Kalau seandainya hal itu merupakan tujuan, maka sesungguhnya kesempatan itu sudah ada di depan mata Rasulullah, tanpa harus berperang, tanpa harus ber-pemilu. Tapi beliau tidak mengambilnya. Dan seandainya kita menyangka bahwa dengan kekuasaan, hukum Islam itu bisa ditegakkan, sudah barang tentu Rasulullah pun telah lebih dulu menerima tawaran kaum Quraisy itu.”
K: “Oya, saya teringat sesuatu. Bukankah Rasulullah menolak tawaran tersebut karena tawaran itu bersyarat? Yaitu agar Beliau meninggalkan dakwah Islamiyyah?”
S: “Bukankah kekuasaan yang dicapai dengan demokrasi pun akan penuh dengan syarat? Penuh kompromi? Penuh toleransi? Harus tetap menghargai orang yang berbeda pendapat, menghargai orang yang tidak setuju dengan hukum rajam, potong tangan, jilbab, bahkan menghargai hukum murtad dari agama Islam, karena hal itu adalah hak asasi manusia. Kalau ternyata Rasulullah meninggalkan pencapaian ‘kekuasaan yang bersyarat’ itu, lalu mengapa kita berani mengambilnya?”
K: “Saya kagum dengan argumentasi-argumentasi yang Bapak kemukakan, namun masih ada sedikit syubhat dalam fikiran saya.”
S: “Silahkan Ananda kemukakan.”
K: “Kalau pada zaman Nabi kan Beliau dituntut oleh Allah untuk memperjuangkan Islam secara sempurna, apalagi beliau di bawah bimbingan Allah. Tapi saat ini, kan agak susah untuk memperjuangkan Islam yang sempurna, karena kita bukan Nabi. Jadi melalui demokrasi, kita bisa mengakomodasi hukum Islam sedikit demi sedikit.”
S: “Masalahnya Allah telah berfirman: Walaa talbisul haqqo bil baatili (Janganlah kalian mencampuradukan yang haq dengan yang bathil). Sebuah larangan yang sangat keras dari Allah. Memang, dengan demokrasi, sebagian hukum Islam mungkin bisa diakomodasi, namun di saat yang sama, kita terpaksa melanggar ayat tadi, karena harus bertoleransi dengan selain hukum Allah, harus bersekutu dengan orang kafir dalam penentuan suatu hukum. Saya melihat bahwa kemampuan akomodasi dengan cara demokrasi tidak akan sampai kepada derajat kamil/kaffah, karena di sana ada kompromi, toleransi, tenggang rasa.”
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 42)
K: “Lalu, cara apa yang bisa mengakomodasi hukum Islam secara kaffah?”
S:”Jihad fii Sabilillah. Dengan cara itulah Islam telah jaya pada zaman para Nabi dan Rasul, dan dengan cara itu pulalah agama Islam ini akan kembali jaya di akhir zaman. Islam telah dimuliakan dengan jihad, dan akan kembali mulia dengan jihad.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar