K: “Pak Sholeh, dengan alasan-alasan yang Bapak kemukakan, sekarang saya
minimal bisa menghargai pendapat orang-orang yang berbeda dengan saya. Yaitu orang-orang yang tidak setuju dengan demokrasi. Karena ternyata mereka pun mempunyai alasan yang tidak gampang dibantah. Mereka itu berpendapat bukan tanpa ilmu. Walaupun hati ini belum merasa puas, karena masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.”
S: “Syukurlah kalau Nak Khoirul memahaminya. Kita memang butuh tabayyun dengan orang yang berbeda pendapat. Akan lebih baik lagi, kalau Nak Khoirul langsung belajar dari kitab-kitab para ulamanya, tentu akan banyak didapati alasan-alsasan yang mempunyai sandaran Al-Qur'an dan Sunnah, daripada sekedar alasan dari saya yang dho'if.”
K: “Pak Sholeh, Bapak telah menjelaskan beberapa konsep demokrasi. Bapak telah menjelaskan beberapa sifat Partai Allah. Bapak pun telah menjelaskan bagaimana kedudukan partai politik di dalam lingkaran besar kaum muslimin. Tentang perintah Nabi untuk menjauhi semua kelompok. Namun Pak, kalau kita
meninggalkan gelanggang politik, justru hal itu akan membuat parah kaum muslimin. Karena dengan demikian, kaum kafir akan masuk ke dalam parlemen.
Mereka, bersama orang-orang Islam yang jahil, akan membuat undang-undang yang justru akan menyengsarakan kaum muslimin. Mereka akan lebih menindas kaum muslimin, akan mengganti dengan hukum-hukum thagut yang lebih mengerikan. Presiden dan gubernur akan dijabat oleh orang kafir. Apakah umat Islam tidak berdosa secara fardu kifayah? Apakah kita akan tinggal diam saja?”
Hening.....
Kali ini Pemuda Khoirul berargumen cukup panjang. Pak Sholeh yang tadinya meladeni pertanyaan-pertanyaan dia dengan lancar, kini tiba-tiba wajahnya perlahan-lahan tertunduk lesu. Tatapannya merunduk, memandang permukaan karpet mesjid yang sudah usang dimakan usia. Raut wajahnya menampakkan
kesedihan..Nampak jelas usianya yang telah menginjak setengah baya. Bibirnya tertutup rapat. Jari telunjuknya memainkan butiran-butiran pasir di atas karpet. Memang, dengan mudah sekali Beliau bisa menjelaskan bagaimana demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Bahkan bertentangan dengan semua
agama. Karena Hak Asasi Manusia kadangkala atau bahkan senantiasa berbenturan dengan Hak Asasi "Tuhan", yang diatur dalam agama-agama. Namun kali ini beliau dihadapkan dengan sebuah realita. Pertanyaan yang memaksa Beliau terdiam cukup lama. Terlihat sekali berat dan susahnya beliau menjawab pertanyaan ini. Seakan-akan beliau sedang merasakan kehilangan seorang ayah atau seorang ibu.
Kali ini Pemuda Khoirul berargumen cukup panjang. Pak Sholeh yang tadinya meladeni pertanyaan-pertanyaan dia dengan lancar, kini tiba-tiba wajahnya perlahan-lahan tertunduk lesu. Tatapannya merunduk, memandang permukaan karpet mesjid yang sudah usang dimakan usia. Raut wajahnya menampakkan
kesedihan..Nampak jelas usianya yang telah menginjak setengah baya. Bibirnya tertutup rapat. Jari telunjuknya memainkan butiran-butiran pasir di atas karpet. Memang, dengan mudah sekali Beliau bisa menjelaskan bagaimana demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Bahkan bertentangan dengan semua
agama. Karena Hak Asasi Manusia kadangkala atau bahkan senantiasa berbenturan dengan Hak Asasi "Tuhan", yang diatur dalam agama-agama. Namun kali ini beliau dihadapkan dengan sebuah realita. Pertanyaan yang memaksa Beliau terdiam cukup lama. Terlihat sekali berat dan susahnya beliau menjawab pertanyaan ini. Seakan-akan beliau sedang merasakan kehilangan seorang ayah atau seorang ibu.
Terlihat ada kaca-kaca air di matanya. Kaca-kaca air itu semakin terlihat jelas menggumpal. Lalu..setetes air mata jatuh dari wajahnya yang masih tertunduk, beliau mengangkat wajah dan berkata lirih hampir tak terdengar…
S: “Ananda, inilah puncak pertanyaan dari segala pertanyaan seputar demokrasi. Akan Ananda rasakan, betapa tipis sekali batas jawabannya, kecuali bagi orang-orang yang memikirkannya dengan bashiroh dan kehati-hatian. Inilah dilema Umat Islam yang saya namakan Dilema Simalaka.”
K: “Apa itu Simalakama?”
S: “Legenda tentang suatu jenis buah, yang apabila seseorang memakannya, maka bapaknya akan mati, kalau tidak dimakannya, maka ibunya yang akan mati. Suatu keputusan yang sulit dipenuhi.”
K: “Mengapa bisa begitu Pak Sholeh?”
S: “Karena Umat Islam dihadapkan pada dua persoalan yang sangat bertolak belakang. Yang satu adalah masalah kemustahilan, yang kedua adalah masalah realita-realita.”
K: “Saya jadi tidak mengerti. Tolong Bapak jelaskan lebih rinci lagi.”
S: “Baiklah, tapi saya akan bertanya dulu kepada Ananda. Tolong Ananda jelaskan, apa yang Ananda fahami tentang "kemenangan" yang dijanjikan Rasulullah di akhir zaman bagi Umat Islam.”
K: “Mmmm…..yaitu berdirinya sebuah Daulah Islamiyyah berbentuk kekhalifahan. Mmmm…dan terealisasinya Hukum Islam secara kaffah.”
S: “Cukup bagus. Kira-kira bagaimana hal itu bisa dicapai.”
K: “Mmm…saya tidak tahu. Mmm… dengan diplomasi atau kompromi rasanya tidak mungkin. Mmm… mungkin dengan jihad kali Pak.”
S: “Baiklah. Coba ingat-ingat kembali prinsip demokrasi. Yaitu prinsip menghargai perbedaan pendapat, adanya kompromi dan negosiasi dengan orang
kafir, kompromi dengan orang Islam yang tidak faham Islam, seperti para nasionalis, aktifis HAM, adanya sistem satu suara lawan satu suara, sementara jumlah orang yang benar itu kata Rasulullah cuma sedikit. Menurut Ananda, apakah mungkin Daulah Islamiyyah dan Hukum Islam kaffah tadi akan dapat ditegakkan dengan cara ini?”
K: “Mmmm..rasanya koq tidak mungkin Pak. Kalaupun mungkin, rasanya akan sangat lama sekali Pak, karena di sana ada kompromi dan sikap menghargai pendapat orang lain, agama lain, aturan lain.”
S: “Nak Khoirul, itulah yang saya maksud dengan "kemustahilan".”
K: “Tapi kalau kita meninggalkan demokrasi, bisa-bisa presiden kita akan dijabat oleh orang non-muslim, hukum-hukum bisa diganti oleh mereka dengan yang merugikan Islam. Bukankah begitu?”
S: “Ananda benar. Namun tetap saja, apakah hal itu akan membawa kepada "Kemenangan" seperti yang telah Ananda definisikan tadi? Yaitu kemenangan hakiki, kemenangan yang kaffah?”
K: “Mustahil, karena di sana ada kompromi, ada toleransi.”
S: “Kalau mustahil, kenapa jalan itu tetap ditempuh?”
K: “Saya tahu jalan itu tidak akan mencapai kemenangan yang hakiki kecuali dengan jihad. Tapi dengan demokrasi, minimal kita dapat membela hak-hak kaum muslimin.”
S: “Inilah salah satu "realita" yang saya maksud.”
*Mustahil karena tidak mungkin Islam dibangun di atas pilar demokrasi dengan penjelasan-penjelasan tadi. Sementara di sisi lain, umat Islam harus berhadapan dengan sebuah sistem kafir yang telah mendarah daging di negerinya. Ada ketakutan dari muslimin kalau-kalau pucuk pimpinan (jabatan-jabatan penting) dipegang oleh orang-orang fasik lagi kafir. Padahal mereka tidak akan mampu memudharatkan umat ini.
Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan. (Ali Imron : 111)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar